[2] How to Fall in Love With Anyone: A Memoir in Essays

Saturday, September 4, 2021
Judul: How to Fall in Love With Anyone: A Memoir in Essays
Pengarang: Mandy Len Carton

Bahasa: English
Tahun Terbit: 27 Juni 2017
Penerbit: Simon Schuster
Jumlah halaman: 238 halaman
Jenis: Hard Cover (dibeli saat BBW Maret 2021) 
Rating: ☾☾☾
Sinopsis:
An insightful, charming, and absolutely fascinating memoir from the author of the popular New York Times essay, “To Fall in Love with Anyone, Do This,” (one of the top five most popular New York Times pieces of 2015) explores the romantic myths we create and explains how they limit our ability to achieve and sustain intimacy.

What really makes love last? Does love ever work the way we say it does in movies and books and Facebook posts? Or does obsessing over those love stories hurt our real-life relationships? When her parents divorced after a twenty-eight year marriage and her own ten-year relationship ended, those were the questions that Mandy Len Catron wanted to answer.

In a series of candid, vulnerable, and wise essays that takes a closer look at what it means to love someone, be loved, and how we present our love to the world, Catron deconstructs her own personal canon of love stories. She delves all the way back to 1944, when her grandparents first met in a coal mining town in Appalachia, to her own dating life as a professor in Vancouver, drawing insights from her fascinating research into the universal psychology, biology, history, and literature of love. She uses biologists’ research into dopamine triggers to ask whether the need to love is an innate human drive. She uses literary theory to show why we prefer certain kinds of love stories. She urges us to question the unwritten scripts we follow in relationships and looks into where those scripts come from in the first place. And she tells the story of how she decided to test a psychology experiment that she’d read about—where the goal was to create intimacy between strangers using a list of thirty-six questions—and ended up in the surreal situation of having millions of people following her brand-new relationship.

In How to Fall in Love with Anyone Catron flips the script on love and offers a deeply personal, and universal, investigation.

 
For most of my life, I'd conceptualized love as something that happened to me. It isn't merely the story we tell about love that encourage this attitude, but the very words themselves. In love, we fall. We are struck, we are crushed. We swoon. We burn with passion. Love make us crazy or it make us sick. Our hearts ache and then they break. I wonder if this love had to work—or if I could take back some control.

Setelah review pertama yang saya buat, ternyata semangat membaca tidak ada. Kalau bukan karena saya dikasih tugas oleh psikiatri untuk menelusuri tentang alasan tidak tertarik dengan hubungan romansa dan juga karena ingin kembali memulai hidup yang lebih teratur dengan mengisi Daylio, mungkin blog ini benar-benar terlantar.
 
Latar belakang buku ini saya beli karena tertarik dengan konsep fanfiksi yang dibaca di AO3 yang membahas tentang slow love, lalu membuka BBW di bulan Maret 2021 dan tidak sengaja menekan buku ini. Sinopsisnya menurut saya oke, check out dengan buku The Little Prince dan baru kemudian membuka Goodreads, lol. Jangan ditiru sikap saya yang check out duluan, baru mencari tahu ulasan bukunya.
 
Sembari menunggu bukunya sampai ke rumah, ternyata buku ini berasal dari artikel New York Times di rubik Modern Love yang berjudul, To Fall in Love With Anyone, Do This. Artikelnya benar-benar membuat saya terpana dan berujung berlangganan New York Times. Namun, niat membaca artikel tidak sejalan dengan niat membaca bukunya ya. 

Baru dapat ilham membacanya hingga selesai saat 1 September 2021 ini.

Untuk gambaran umum, buku ini merupakan memoir dari kisah 3 generasi keluarga Catron. Iya, buku ini mengisahkan cinta Mamaw dan Papaw (Nenek dan Kakek Catron dari pihak Ibu); Ayah dan Ibu Catron serta Catron sendiri. Penulisnya merupakan pengajar di salah satu Universitas di Vancouver jurusan Literatur Inggris.

I hated this way of talking about love, but I caught myself doing it, too. The right choice, the right person, the right kind of love, the one. Was it moral rightness or narrative rightnessa good person or a good story? As far I could tell, rightness and wrongness were only ever apparent in retrospect. Relationship aren't about quizzes you can pass or fail, but we insist on talking about them as if they are.

Sebelum sampai ke artikel New York Times, pembaca buku ini akan diajak untuk melihat hubungannya Catron dengan pacarnya yang sudah berjalan 10 tahun belakangan. Lalu kemudian, kita akan melihat hubungan orang tua Catron dan melihat hubungan orang tua dari pihak Ibu Catron. Setelah melihat kisah cinta 2 generasi di atas Catron, kita akan kembali melihat hubungannya dengan pacarnya (yang akhirnya menjadi mantan).

Meski saya yakin, kalau membaca cerita Mamaw dan Papaw (Nenek dan Kakek dari pihak Ibu Catron), beberapa orang pasti terganggu dengan fakta jika Mamaw menikah saat berusia 15 tahun dan Papaw berusia 32 tahun. Namun, hal yang perlu saya tekankan dari kisah mereka adalah Mamaw hanya memiliki 3 pilihan dan dari 3 pilihan (terburuk itu), menikah adalah pilihan yang terbaik.
 
Marriage is always more than love story; it's also a socioeconomic instruction. And, as Marina Adshade points out in her book Dollar and Sex: How Economics Influences Sex and Love, "the institution have varied significantly from place to place, from community to community and, importantly, over time."

Kalau membaca cerita orang tua Catron, saya yakin beberapa orang akan merasa terganggu dengan guru yang mengencani muridnya sendiri. Meski tahun 70-an dan 80-an itu tidak akan begitu dipermasalahkan, tetap saja logika pembaca akan merasa ini tidaklah benar. Apalagi jika semakin jauh membaca ceritanya, kemungkinan akan menilai Ayah Catron ini sebagai lelaki manipulatif. 
 
Akhir kisah untuk orang tua Catron ini? Bercerai setelah 20+ tahun menikah.

Kalau tidak menyukai tokoh yang hopeless romantic pada suatu cerita, mungkin akan merasakan kejengkelan yang sama dengan saya selama membaca 100 halaman pertama. Hal yang membuat saya bertahan hingga akhir adalah karena cerita Mamaw dan Papaw. Juga karena ingin melihat versi lebih detail dari artikel New York Times.
 
Serius, kalau berkesempatan membaca buku ini, bertahanlah sampai 100 halaman dan setelah itu benar-benar tidak bisa berhenti membacanya karena dinamika bukunya sudah menyenangkan.
 
If we believe stories motivate us to be more like protagonist so that we can earn their same reward (love, wealth, social promotion, political allies), then we must also believe that protagonist are mostly good. The problem with this idea is that it fail to account for the many stories that offer love as a reward for some rather unimpressive personality traits and behaviors.

Saya tidak menyesal untuk tetap melanjutkan membaca buku ini hingga selesai, lantaran melihat Catron yang akhirnya memiliki character development dari yang hopeless romantic (tetapi berusaha untuk membela diri dengan segala teori saintifik) hingga akhirnya menyadari bahwa cinta itu bukan hanya tentang cerita yang terlihat baik, tetapi juga dari kecocokan dengan individunya.

Juga saya senang karena semakin ke belakang, penulisnya semakin bijak dalam menyikapi soal percintaan. Tidak terpaku pakem seperti cerita fiksi yang selama 100 halaman pertama benar-benar menjadi pedoman untuk kisah cintanya.

When it comes to love, we tend to arrange our narratives to suit our sense of the world as a place that recognized deservingness. But here's what I've come to believe instead: Most of us deserve love, and statistically speaking, most of us will find it. And it will make more of us happyfor at least a little while.

Semua orang pantas merasakan cinta, meski tidak sempurna seperti orang lain. Cinta itu memang membuat kita bahagia, meski hanya sementara. Karena jatuh cinta dan mempertahankannya adalah dua hal yang berbeda. Makanya menurut saya penulisnya di kutipan atas memberitahukan, "setidaknya untuk sementara."

I understood how you could leave someone and feel lost without him, and still choose that loneliness over being with him. 

I understood why you might put off telling anyone about your separation: not quite because you feel embarrassment or shame (thought likely you are experiencing both, deeply) but because you don't want to be judged for decision you have already spend months struggling with.

Menurut saya, buku ini cocok dibaca untuk orang-orang yang mencari jawaban tentang cinta di hidupnya. Bagi orang yang hopeless romantic yang tidak ingin berakhir dengan orang yang salah; bagi orang yang merasa ragu untuk ke jenjang lebih serius dengan pasangannya hanya karena sudah menghabiskan banyak waktu bersamanya sehingga merasa sayang jika hubungannya berakhir; bagi orang yang juga tidak yakin bahwa cinta itu bukanlah suatu hal yang memberikan kebahagiaan karena terlalu banyak hal yang perlu diusahakan jika bersama dengan seseorang.

Saya harap BBW menjual buku ini kembali di bulan September 2021 untuk bisa membuat lebih banyak yang membacanya.

Rating 4 bulan untuk character development, roller coaster emotions dan closure yang diberikan oleh penulis yang realistis.
Post Comment
Post a Comment